Semilir angin menerpa bagaikan bisikan halus nyanyian yng mengalun sendu,
menangis seperti hatiku. Terasa berat melangkahkan kakiku, seolah tidak ingin
aku meninggalkan tempat ini. Berat memang, namun, semua ini harus kulakukan.
Bukan keinginanku begini, namun suatu keharusan. Ya, keharusan.
Kupaksakan kakiku melangkah, melewati jalan setapak berbatu, menembus
tebalnya rerumputan yang terhampar luas, bersanding dengan hijaunya sawah yang
luas dan pepohonan hutan di lereng pegunungan di ujung horizon. Kuhentikan
langkahku sejenak. Kulihat biru langit cerah pagi ini, beberapa burung terbang,
bermain, seperti menggodaku untuk ikut mengejar mereka. Tidak. Mungkin lain
kali? Aku tersenyum, kusadari pahitnya kenyataan, karena mungkin aku tidak akan
kembali lagi, dan mungkin tidak akan ada lain kali.
Kulangkahkan lagi kakiku, menuju ke tempat tujuanku, dimana dia menunggu.
Kucengkeram erat benda di tanganku. Semakin dekat, hatiku semakin menjerit.
Semakin dekat, hatiku semakin menangis. Tapi apa yang bias kulakukan? Semua ini
sudah menjadi suatu keharusan, dan aku tidak bisa menolaknya.
Kulewati hamparan sawah, menuju padang rumput ynag hijau, dimana ada
sebuah pohon besar yang tumbuh, sendirian ditengah hijaunya rerumputan. Seperti
kata ibuku, pohon itu kesepian. Semakin sedikit anak-anak yang bermain
disekitarnya, dibawah nanungan rindang dedaunannya. Termasuk aku, yang akan
meninggalkan tempat ini. Akan meninggalkan dia.
Ku lambatkan langkah kakiku. Semakin aku mendekati tujuanku. Sebuah pohon
yang mulai kesepian, dimana aku berjanji bertemu dengan dia. Semakin aku
mendekati tujuanku, semakin aku melihat sosok orang yang menungguku, bersandar
pada batang pohon yang kokoh, menerawang jauh ke angkasa. Dia.
Kuhentikan langkahku, dibawah pohon ini. Bisa kulihat jelas dia,
tubuhnya, wajahnya, tatapan matanya yang menawan, semua tentang dia. Aku bisa
merasakannya, sebenarnya dia merasakan keberadaanku. Namun entah kenapa dia
tetap menatap angkasa. Seakan dia sedang berada di dunia lain. Aku mungkin akan
berdoa supaya waktu berhenti sekarang. Namun tidak kali ini. Tidak bisa.
“Emm, aku….”
Aku tergetar, tidak kuasa meneruskan perkataanku. Sejuta perasaan
bercampur aduk dalam benakku. Tiba-tiba saja dia memalingkan wajahnya kearahku,
menatapku dalam. Aku hanya bisa tertunduk. Aku tidak bisa membalas tatapannya.
Aku merasa lemah.
“Aku sudah tahu, apa yang ingin kamu bicarakan.”
“Eh?”
Tatapannya berubah menjadi tatapan hangat seperti biasanya. Senyum
mengembang menghiasi wajahnya. Namun aku bisa melihat setitik kesedihan dalam
dirinya.
“Kamu harus pergi, kan?”
“Soal itu…”
“Eh? Bukan itu yang mau kamu katakan?” dia menaikkan satu alisnya.
“Tidak, kau benar. Aku ingin membicarakan hal itu.” Aku berjalan
mendekatinya. “Tapi aku juga ingin membicarakan hal lain.” Kataku mencari
alasan.
“Biar kutebak. Bunga itu?”
“Ah, ya, em…begitulah.”
“Jadi?”
“Aku berangkat sore nanti.”
“Ya, aku sudah tahu itu dari orang tuamu tadi malam.”
Aku hanya bisa diam. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Perasaanku
tidak terkontrol lagi. Benar-benar menyayat hati. Mataku mulai terasa panas.
“Hey, kenapa kamu diam saja?”
“Maafkan aku!” aku sudah tidak bisa menahannya lagi “Aku tidak bermaksud
untuk pergi! Ini bukan keinginanku! Aku terpaksa! Aku hanya, aku–“
Cup.
Sebuah kecupan mendarat dikeningku. Kudapati aku telah berada dalam pelukannya. Dalam hangat
pelukannya. Tidak ada diantara kami yang berkata-kata. Keheningan ini sudah
cukup. Dan kali ini sungguh, aku berdoa supaya Tuhan mau menghentikan waktu
sejenak, walaupun itu tidak mungkin. Aku hanya bisa meresapi kehangatan
pelukannya, mungkin untuk yang terakhir
kalinya.
***
Hari ini seperti biasa, aku berangkat ke sekolah menaiki sepedaku, menyusuri jalanan yang
membelah hamparan sawah yang menguning, tanda sebentar lagi akan masuk musim
panen. Itu sih kata ayahku, hihihi.
Sekolahku lumayan jauh. Sekolahku itu ada di pinggiran kota, sekitar lima
kilometer dari desa ini. Aku lebih sering berangkat sendiri. Tapi pulang
sekolah, aku selalu pulang bersama teman-temanku.
“Put, Putri!”
“Eh? Bayu? Kok lari-lari? Mana sepedamu?” kuhentikan sepedaku disamping
jembatan kecil diatas aliran air yang digunakan untuk pengairan sawah.
“Eh, hahaha. Itu anu, ban sepedaku bocor tadi, kalo nunggu ditambal di
bengkelnya om Jono nanti ndak keburu.
Aku boleh mbonceng kamu ke sekolah?
Boleh ya? Kalo telat bisa-bisa diturunin lagi ke kelas dua sama pak Pram.
Hiii-”
Hihihi, ekspresinya lucu.
“Boleh. Tapi kamu yang didepan ya? Masak yang perempuan yang didepan?”
“Sip lah ndoro putri.”
“Pelan-pelan bawa sepedanya ya?”
***
Sore ini sangat cerah. Suara teriakan dan tertawa menghiasi keceriaanku
dan teman-temanku –Dinda, Ani, Dewi, Prita dan Tyas– bermain kejar-kejaran di sekitar pohon kesepian. Kata ibuku, kalau mau
bermain, di sekitar sini saja, biar jadi teman pohon ini, yang sudah ada sejak
ibuku kecil. Tapi benar juga ya, kasihan pohon ini nanti.
Bruk.
“Huaa~~ capeknya~~” aku menghempaskan tubuhku ke rerumputan yang tebal.
Rasanya seperti di tempat tidur.
“Iya nih, ada yang bawa minum ndak?”
Dewi ikut-ikutan rebahan disampingku.
“Nih Wi, tadi aku bawa kok. Tapi Cuma dua botol nih. Bagi-bagi ya?” Tyas mengeluarkan
dua buah botol berisi air mineral dari tas yang diletakannya di keranjang
sepeda miliknya.
“Waahh~~ Tyas baik deh.”
“Eh, Prita, minta dong!”
“Sabar dong Din! Sabar!”
“Putri, mau?” Dewi menyodorkan sebotol air yang telah berkurang isinya.
Aku cuma mengangguk. Kuraih botol itu dan meminum isinya. Kurasakan
betapa segar rasanya, menyejukkan, menyenangkan, menena–
“HOOREEE AKU MENANGG!!”
Aku kaget. Hampir saja aku tersedak. Ternyata cuma anak laki-laki yang
sedang bermain dir-diran (kelereng).
“Ahh~~ Aku kalah lagi.”Bayu berguling-guling, frustasi karena mengalami
kekalahan berturut-turut.
Eh? Aku belum cerita kalau disini juga ada anak laki-laki sedang bermain
juga –Bayu, Maman, Anto dan Agus, yang baru saja menang. Kadang mereka main dir-diran, kadang mereka cuma
tidur-tiduran dibawah pohon, kadang kita bersepuluh juga bermain layangan. Iya, bersepuluh, termasuk aku.
Aku bersandar ke batang pohon, sambil tersenyum kecil. Bermain dengan
mereka sangat menyenangkan, walaupun kadang-kadang ada juga seorang dua orang
yang menangis, tapi itu yang mengikat kami semua. Sampai ayah Prita menyebut
kami dengan sebutan ‘geng kancil’, walaupun kami belum pernah mencuri mentimun.
Hihihi.
Dari kejauhan kulihat om Jono lari tergesa-gesa menuju ke arah kami.
Wajahnya memancarkan rasa cemas dan khawatir.
“BAYU!”
***
Siang ini terasa suram. Aku kembali mendatangi rumah Bayu, ditemani ayah
ibuku. Aku ingin khawatir dengan keadaannya. Karena tadi pagi dia seperti
mainan yang hancur berkeping-keping. Seperti tidak mempunyai semangat maupun
jiwa.
Aku terus berusaha menembus kerumunan orang-orang berpakaian hitam yang
berkumpul di halaman rumahnya. Aku terus berusaha untuk mencapai rumahnya.
Terus berusaha untuk mencari dirinya.
“Semua ini gara-gara kau!”
Suara itu. Ya, suara itu suara Bayu. Aku menuju ke sebuah kamar dimana
sumber suara itu berasal.
“Kalau saja kau tidak dilahirkan, Ibu tidak akan pergi! Kalau saja kau
tidak dilahirkan, Ibu tidak akan meninggal! Kenapa tidak kau saja yang mati!
Kurang ajar!!”
Aku kaget bukan kepalang. Aku melihat Bayu, dengan mata penuh amarah yang
belum pernah kulihat sebelumnya. Dia melampiaskan amarahnya pada seorang bayi
yang tergeletak ditempat tidur, menangis meraung-raung, terbangun dari
tidurnya. Aku hanya bisa diam terpaku di ambang pintu dalam keterkejutanku.
Sejenak kurasakan ada tangan menyentuh pundakku, dan kemudian kulihat seseorang
memasuki kamar ini.
Plak!
“Jaga mulutmu Bayu!”
“Memang itu kenyataannya!”
Plak!
“Kau ini keterlaluan!”
Aku hanya bisa melihat amarah dan kebencian terpancar dari matanya saat
dia berlari keluar. Yang ada dalam pikiranku sekarang, aku harus mengejarnya.
Tapi bagaimana? Aku sudah kehilangan jejaknya. Tapi aku yakin dia pasti disana.
Kupercepat langkahku, berlari dan terus berlari. Dia disana, aku
melihatnya. Dia terdiam membelakangiku.
“Mau apa kau kesini?”
“Bayu, aku tahu apa yang kau rasakan sekarang. Aku juga merasakannya
waktu nenekku meninggal.”
“Tidak. Kau tidak tahu apa yang kurasakan.”
Aku tahu dia selalu memendam perasaannya. Selalu bersikap tangguh. Tetap
tenang sewaktu marah. Selalu tersenyum saat dia sedih, tapi tidak kali ini.
Emosinya terpancar jelas. Kali ini tidak seperti biasanya, aku tidak harus
menatap matanya dalam untuk mengetahuinya.
Aku mendekatinya, mendekapnya dari belakang. Terasa kesedihannya masuk ke
dalam diriku. Menjalar melewati tanganku. Terus menjalar naik. Membuat mataku
panas dan air mataku menggenang.
“Sudahlah, ndak usah pura-pura
lagi. Aku tahu kamu sedih. Kamu boleh kok nangis.”
“Ndak, aku ndak bakalan nangis. Itu
kerjaannya anak cengeng yang lemah.”
“Tapi kan ndak apa-apa
sekali-sekali meluapkan perasaanmu. Kamu boleh kok nangis. Aku ndak akan bilang siapa-siapa kok,
janji.”
Kurasakan badannya tergetar. Suara sesenggukan terdengar.
“Ak…aku…aku…”
“Masih ingat kan kata-kata ibumu kemarin?”
Dia tidak menjawab, hanya suara tangisan yang tertahan.
“Ibumu ingin kamu menjadi angin
yang membuat api menjadi besar. Angin
yang menjaga api selalu menyala. Angin yang membawa kehidupan. Bukan menjadi
angin yang mematikan api kecil. Karena itu ibumu menamai adikmu dengan nama
Agni, kan?”
Dia hanya menangis. Kali ini bukanlah tangisan yang tertahan. Hanya
tangisan lepas penyesalan.
***
Bruk!
“Huuwaaa~~”
“Eh? Agni!” kuhentikan langkahku, kuhampiri Agni kecil yang terjatuh. Ada
luka yang mengucurkan darah di lututnya. Aku menenangkannya, namun tangisannya
tidak berhenti.
“Sudah, sudah. Jangan menangis. Sini kakak gendong.”
“Ayo nanti di rumah lukanya di obati, ya?”
“Makanya besok-besok kalau jalan hati-hati ya?”
“Emm…Iya. Terima kasih ya, kak Bayu memang baik.”
“Iya, iya, ayo Put, nanti keburu sore.”
Aku tersenyum. Kupercepat langkahku menyusul kakak beradik itu. Kadang
aku juga menginginkan kakak yang baik dan perhatian. Tapi tidak mungkin ya?
Hihihi.
***
Kupejamkan mataku. Merasakan buaian angin sejuk menerpa mukaku. Kudengar
nada-nada yang mengalun indah. Alunan yang sangat menenangkan hati.
“Tidak terasa, waktu berlalu sangat cepat.”
Kubuka mataku perlahan. Yang pertama kulihat adalah birunya langit di
sela-sela rindang dedaunan yang menari perlahan.
Kulihat dia disampingku. Sebuah gitar dalam dekapannya. Jari-jari
tangannya menari diatas dawai, menghasilkan nada yang terdengar mengalun merdu.
Kurasakan gerakan di pangkuanku. Seorang malaikat kecil yang tertidur
lelap di pangkuanku. Kuletakkan tanganku diatas kepalanya, kuelus lembut penuh
kasih sayang.
“Tidak terasa, kita akan beranjak dewasa.” Dia menerawang jauh.
Jari-jarinya terus menari seperti tidak mengenal lelah.
“Iya, kukira baru kemarin aku mengajari adikmu ini berjalan.”
Dia menghentikan permainan gitarnya, menatapku dengan pandangan aneh.
“Eh? Kenapa?”
“Kau seperti ibu-ibu.” Dia menjawab dengan santainya, meneruskan
petikan-petikan gitarnya.
Pak!
Sebuah jitakan sukses mendarat di kepalanya. Sumbernya? Tentu saja
tanganku.
“Kamu ini kenapa? Aku kan cuma bercanda.”
“Eh?”
“Tenang, kamu tambah cantik kok.”
“Eh…..?” Mukaku terasa panas. Entah kenapa.
“Semakin sepi. Teman-teman satu per satu pergi meninggalkan tempat ini.”
Aku tidak menjawab. Memang, Dinda, Prita dan Dewi pindah ke ibukota
bersama keluarga mereka. Tyas dan Ani bersekolah ditempat kakek-nenek mereka,
walaupun tiap libur semester mereka pulang kesini karena orang tua mereka tetap
tinggal disini. Begitupun teman-teman Bayu, mereka ikut orang tua mereka pindah
ke kota besar.
“Apa kamu juga akan meninggalkan tempat ini?”
“Entahlah. Tapi sebisa mungkin aku ingin disini, di tempat ini.
Bersamamu.”
***
Aku tersadar dari lamunanku. Aku masih disini, dibawah pohon yang sama,
masih dipelukannya. Aku sedang tidak ingin mengingat ingatan-ingatan itu,
tentang semuanya. Aku hanya ingin meresapi momen ini lebih lama lagi.
“Putri?”
“Hmm…? Lima menit lagi.”
“Eh?”
“Iya, emm…maaf.” Aku melepaskan pelukannya. “Aku hanya ingin bersamamu
lebih lama. Tapi sepertinya tidak mungkin”
“Iya, sudahlah. Kau juga harus mengejar waktu kan? Lalu apa yang ingin
kamu bicarakan tadi?”
“Emm…mawar itu, aku menitipkannya padamu. Aku ingin kau merawatnya– ”
“Kamu ingin aku merawatnya?”
“–ya, jika kau menyayangiku.” Entah apa yang membuatku berkata begitu.
Aku tidak tahu. Aku hanya menatapnya dalam-dalam, membakar ingatan tentang
dirinya didalam memoriku.
Dia tersenyum, senyum yang tidak ingin aku lupakan.
“Tentu, aku akan merawatnya hingga tumbuh besar. Aku akan menjaganya
hingga kamu kembali.”
Cup.
Dia mencium keningku untuk kedua kalinya. Itu membuatku lebih tenang,
namun juga membuatku sedih.
“Aku pergi.”
“Aku menyayangimu. Berhati-hatilah disana. Aku akan merindukanmu.”
Aku hanya mengangguk. Aku mulai melangkah. Menjauh dan semakin menjauh.
Aku sudah tidak bisa lagi membendungnya. Uraian air mata dan isak tangis
menemani langkahku.
***
Pagi ini seperti pagi yang lain. Aku menyusuri jalan desa ini. Ku tuntun
sepedaku, sambil menghirup aroma pagi. Menuju ke tempatku mengais rejeki.
Kuhentikan langkahku didepan papan berita di depan kantor kelurahan. Ini
sudah menjadi kebiasaanku, membaca berita sebelum aku berangkat. Memang hanya
sebuah papan yang ditempel potongan-potongan surat kabar, namun aku rasa ini
sangat membantu. Mengingat hanya beberapa orang yang memiliki televisi di
daerah ini, mayoritas hanya memiliki radio. Aku merasa berita itu penting,
karena menambah wawasan kita, iya kan?
Aku melihat-lihat. Ada yang menarik perhatianku. Berita tentang
penyerangan menara kembar di Amerika oleh teroris menggunakan pesawat
komersial. Kupikir akan ada perang dunia ketiga sebentar lagi, karena makin
banyak serangan-serangan teroris. Seperti waktu krisis moneter beberapa tahun
lalu, kukira akan terjadi perang sipil di Indonesia.
Ku kayuh sepedaku kali ini. Memburu waktu. Bukankah burung yang bangun
paling pagi akan mendapat cacing paling banyak? Meskipun tidak semua burung
mencari cacing sih. Tapi entahlah?
Desa ini telah berkembang. Apalagi setelah peristiwa krisis moneter kota
sebelah sedang mengalami pembangunan dan perluasan daerah secara besar-besaran,
hingga merambah ke desa-desa sebelahnya, termasuk desa ini. Setidaknya daerah
ini menjadi lebih maju, dan mengalami perbaikan disana-sini, termasuk pada
bidang pendidikan, dimana sekolah-sekolah direnovasi. Termasuk sekolahku dulu.
Bahkan kota itu sudah memiliki satu universitas swasta dan satu sekolah tinggi.
Aku sendiri sekarang berkuliah disitu. Aku masuk di jurusan pertanian
sebagai angkatan perdana. Ya, aku menjadi mahasiswa angkatan satu, karena
jurusan pertanian baru dibuka satu tahun lalu, sejak dua tahun universitas itu
berdiri. Universitas itu tidak besar memang, tapi kurasa cukup bagi orang-orang
yang ingin terus mencari ilmu. Yang terpenting adalah kualitas mahasiswa dan
pendidikannya, bukan besar-kecilnya suatu universitas kan?
Disinilah aku mengais rejeki, sebuah toko bunga milik ayahku yang dulu
bernama Kembang Rejeki. Iya, dulu,
karena sejak kematian ayahku tiga tahun lalu, tempat ini aku ganti dengan nama Mawar Biru, seperti apa yang dia
tinggalkan untukku. Dan tempat ini berkembang pesat, sangat berbeda dari yang
dulu. Tempat ini sudah menjadi sebuah toko yang cukup besar, bukan lagi sebuah
kios kecil seperti dulu.
Aku sendiri memiliki tiga orang karyawan yang sangat kupercayai dan sudah
kuanggap seperti saudaraku sendiri, karena memang, mereka adalah
tetangga-tetanggaku di desa, dan salah satunya adalah Agus, temanku dulu si
jawara main kelereng. Dia sebenarnya sempat bersekolah di kota sejak dia SMP
hingga lulus menjadi sarjana pertanian, tapi dia kembali lagi ke desa bersama
kakek-neneknya, ingin ikut serta membangun daerah, katanya.
Yah, meskipun ini hanyalah sebuah toko bunga, toko tanaman tepatnya,
karena disini tidak hanya menjual tanaman bunga, namun juga tanaman hias dan
tanaman besar seperti pohon beringin, dalam bentuk benih maupun tanaman muda,
namun cukup untuk membiayai kuliahku, sekolah adikku yang sudah masuk SMP, dan
menggaji karyawanku dengan pantas, serta memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Bahkan aku masih dapat menabung dalam jumlah yang lumayan dan kadang memberi
bonus kepada karyawanku. Mungkin karena hanya ini satu-satunya toko yang
menjual tanaman dan bunga di kota ini. Bahkan pemda kota mempercayaiku sebagai
partner untuk menyediakan pohon-pohon dan tanaman untuk taman kota dan penghias
jalan untuk proyek pembangunan kota. Yah itulah rejeki, akan datang jika
diusahakan dan dicari.
“Selamat pagi pak Bos!”
“Eh, kamu Gus. Kan sudah kubilang jangan panggil bos-bos segala, kita ini
kan teman.”
“Eits, kalo diluar boleh temen, tapi kalo di lingkungan kerja harus gitu,
itu yang orang kota sebut profesionalisme bro.”
“Iya deh iya. Logatmu itu belum hilang juga ya?”
“Ya gini deh, kelamaan gaul sama cewek-cewek kota yang geulis pisan.”
Kita tertawa bersama. Ya beginilah Agus. Sejak kecil belum berubah sifat
humorisnya. Dialah yang menjadi malaikat penyelamatku sewaktu aku kewalahan
antara kegiatan kuliah dan mengurus toko. Sekarang dia yang menggantikanku
kalau aku sedang sibuk kuliah. Karena memang dia memiliki pengetahuan yang luas
tentang tanaman. Bahkan dia menggunakan koneksinya untuk memasukkan
tanaman-tanaman baru kedalam list
toko ini. Bahkan rencanaku untuk membuka toko kerajinan khas daerah ini pun menawarkan
akan melebarkan ke luar negeri sebagai barang ekspor, padahal itu baru rencana.
Aku salut dengan keberanian dan kreatifitasnya.
“Nggak ngampus Bos Bayu?”
“Belum. Nanti jam sepuluh baru ada kelas. Masih tiga setengah jam lagi.
Ngomong-ngomong mana Eko sama Joko?”
“Tadi sih waktu disamperin lagi ngasih makan sapi sama kambing. Ntar kalo
udah kelar langsung kesini katanya.”
“Oh, okelah.” Memang ini belum jam tujuh, waktu yang kusepakati bersama
karyawan-karyawanku sebagai jam buka, karena mereka harus mengurus hewan
peliharaan mereka. Walaupun sering aku membuka toko lebih pagi dari itu. Ingat
kan? Burung yang bangun lebih pagi–
“Eh ada yang dateng tuh, samperin gih, aku siap-siap dulu.”
“Iya iya.” Kulihat ada seorang pria usia tiga puluh tahunan turun dari
motornya dan melangkah masuk ke dalam toko. Dia langsung menghampiriku. “Ada
yang bisa saya bantu pak?”
“Gini mas, istri saya kepengin punya
mawar biru, ada mas?”
“Kalau mawar biru harus dipesan dulu pak, paling tidak dua minggu sampai
satu bulan pak. Karena belum ada mawar biru yang asli dari persilangan, mawar
biru yang beredar baru mawar putih yang direkayasa menggunakan injeksi warna.
Harga satu tanamannya juga lebih mahal dari mawar biasa pak, dan kalau mau
pesan setidaknya ada uang muka lima puluh persen.”
“Oh begitu. Boleh deh, ndak
apa-apa. Demi istri tercinta. Hahaha.”
“Hahaha, iya pak. Boleh saya tahu nama, alamat dan nomor telepon bapak
kalau ada?”
Orang itu pergi setelah memberiku uang muka dan kucatat identitasnya.
Benar kan? Semakin kau berusaha, semakin rejeki menghampirimu.
***
Siang ini aku kembali ke toko setelah pulang kuliah. Memang jarak toko
dengan kampus tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar dua kilometer.
Kurebahkan tubuhku di atas sofa ruang istirahat tokoku. Lagu keroncong mengalun
dari radio di ujung ruangan yang dinyalakan Joko. Kadang aku ikut mendendangkan
lagu-lagu yang diputar. Mataku tidak lepas dari sebuah tanaman bunga yang
kutaruh dalam pot disamping radio. Tanaman bunga yang sama seperti yang ada di
dalam kamarku. Sebuah tanaman bunga yang spesial. Yang mengingatkanku selalu
dengan dia. Mawar Biru.
Gubrak!
Aku mendapat serangan. Telak mengenaiku. Pelakunya tidak lain adalah–
“Siang kakakku sayang~.”
–malaikat kecilku yang sudah beranjak remaja, menyerangku dengan pelukan
tiba-tiba.
“Eh, Agni, sakit tahu? Bikin kaget.”
“Iya deh maaf.”
“Eh neng Agni udah pulang sekolah nih neng?”
“He’eh nih mas Agus. Oh iya kak, ini tadi Agni beli nasi bungkus lima
porsi, ayo pada makan dulu.” Agni meletakkan tas plastik berisi lima nasi
bungkus dan lima bungkus es teh.
“Wah pas banget, belom makan siang nih. Rejeki, rejeki.” Agus langsung
menyambar sebungkus nasi.
“Mas Agus, Mas Joko sama Mas Eko dipanggil dong! Jangan makan kalau belum
cuci tangan ya! Jorok!”
Aku mengambil sebungkus nasi. Yah, beginilah seorang Agni, sudah berubah
menjadi gadis remaja yang cantik. Dia selalu kesini dan membantu kami sepulang
sekolah. Dan sering juga dia membawa makanan. Agni sangat perhatian kepada
orang-orang disini, apalagi terhadapku, perhatian yang terlalu berlebihan.
Kalau kata Agus, agni itu terkena Brother-Sister
Complex. Entah apa maksudnya, aku sendiri kurang paham dengan psikologi.
***
Hari ini seperti biasa aku membantu kakakku di toko. Setidaknya aku
memiliki teman mengobrol, daripada harus dirumah sendiri. Lagipula aku suka
bunga, terutama bunga mawar. Tapi aku kadang kurang mengerti. Kalau aku sedang
beres-beres dan memindahkan bunga “itu”, baik dirumah ataupun ditoko, kakakku
selalu berubah panik setengah mati. Mungkin bunga itu mempunyai arti spesial?
Entahlah, tapi yang jelas, kakakku dalam kondisi panik sangat menyenangkan
untuk ditonton, hehehe.
Aku selalu mengikat rambutku ketika aku bekerja, supaya tidak
menggangguku bekerja. Waktu itu aku ingin memotong pendek rambutku. Kata
kakakku rambut panjang lebih cocok denganku. Lebih feminim dan anggun, daripada
rambut pendek berkesan tom…tomkrus? Tomsancong? Tomboy? Tomat? Tom…apalah itu
istilahnya jika seorang wanita tetapi berkesan seperti laki-laki. Sejujurnya
aku juga lebih suka rambut panjang.
Kali ini aku dan mas Eko menata bunga-bunga dan merawat pohon-pohon bonsai yang ditata didepan toko. Pohon bonsai ini seperti pohon beringin tapi ukurannya sangat kecil, lucu
menggemaskan. Tapi kata kakakku pohon-pohon bonsai
harganya mahal. Hmm…kok bisa ya? Mungkin karena susah merawatnya? Entahlah,
dunia ini semakin aneh. Banyak barang-barang berukuran kecil tetapi harganya
melebihi barang-barang yang berukuran lebih besar.
Kulihat mas Joko sedang sibuk melayani sepasang pembeli yang tampak
sangat tertarik dengan tanaman yang kalau aku tidak salah namanya ekorbia atau
ekorkucing atau ekor apalah aku lupa namanya. Kakakku sedang serius menyusun
dan membenahi bunga-bunga dan benda-benda kiriman yang baru tiba. Sedangkan mas
Agus bekerja didepan benda yang bernama komputer. Katanya sih komputer itu sama
saja seperti mesin ketik digabungkan dengan televisi. Masuk akal sih, karena
komputer punya layar seperti televisi dan punya tempat untuk menekan
huruf-huruf seperti di mesin ketik. Tapi tetap saja aku belum paham dengan
benda itu.
“Dek Agni, tolong ambilkan gunting yang kecil yang itu.”
“Yang ini mas?” Aku memberikan benda yang dimaksud mas Eko.
Mas Eko kembali memotong daun-daun yang rusak. Aku hanya menonton, karena
aku masih belum terlalu mahir merawat bonsai.
Sangat rumit karena semuanya serba kecil. Entah bagaimana caranya membuat pohon
kecil begitu.
Aku melihat seorang wanita muda berjalan menuju ke toko. Wanita itu
sangat cantik, rambutnya yang panjang tergerai menari-nari ditiup angin,
kacamata yang dipakai menambah kesan anggun dan dewasa, menghiasi wajahnya yang
cantik natural. Dipadu dengan pakaian bermotif batik yang dikenakannya sangat
menawan, berbeda dengan baju-baju batik yang biasa dikenakan ibu-ibu yang
kulihat saat menghadiri acara kondangan bersama
kakakku, ini lebih terkesan simpel dan modern, modis istilahnya kalau aku tidak
salah. Secara keseluruhan, dia bagaikan bidadari yang turun dari langit, sangat
anggun dan cantik, yang menjadi dasar keyakinanku bahwa dia bukan orang dari
kota ini, mungkin dia hanya sedang berkunjung ke kota ini atau mungkin penduduk
baru dikota ini. Tapi jujur, aku sedikit iri dengan dirinya, namun hanya
sedikit saja. Sedikiitt saja, boleh kan?
Dia berhenti sejenak didepan toko, mengamati papan nama yang terdapat di
depan pintu masuk. Entah apa yang menarik perhatiannya dari papan nama itu. Dia
seperti sedang mencerna sesuatu. Bukannya aku berpikiran negatif, aku hanya
berpikiran terbuka terhadap segala kemungkinan. Itu tidak buruk, kan?
Tapi tunggu! Kupandangi wajahnya lekat-lekat, kutelusuri setiap senti
wajahnya. Sepertinya dia tidak memperhatikanku. Wajahnya, sepertinya aku pernah
melihatnya. Tapi tepatnya kapan dan dimana aku lupa. Sungguh, aku kadang tidak
mengerti cara kerja otakku, kadang susah bekerja saat aku sangat membutuhkannya.
Pak!
Aku memukul keningku dengan tangan kiriku. Mencoba untuk mengingat lebih
keras, untuk menggali ingatanku lebih dalam, untuk mencari inform–
“AH!”
***
Memiliki adik seperti Agni sungguh sangat menyenangkan. Sifatnya sangat
mirip dengan ibu, walaupun aku yakin, Agni tidak akan pernah ingat ibunya
karena memang hanya sebuah pelukan yang mengawali dan mengakhirinya. Aku tidak
memungkiri, dulu aku sempat murka saat pertama kali aku melihatnya, karena
dialah yang juga menjadi akhir dari perjalanan ibuku. Tapi aku sangat menyesal
telah melakukan itu.
Tumetesing waspaku
Ora tega rasaning atiku
Sebuah lagu mengalun lirih dari radio. Aku hanya tertawa dalam hati. Aku
tahu benar lagu ini.
Tansah katon esemmu
Ngawe-awe rasaning atiku
Bagaimana tidak? Kehidupanku bagaikan berputar dalam satu hal itu. Aku
memberi isyarat kepada Agus yang paling dekat dengan radio itu untuk
memperkeras suaranya sedikit. Agus mengerti, dan alunan lagu itu sedikit demi
sedikit menjadi lebih jelas.
Ora nyana ora ngira, yen ngene
dadine
Aku kudu melu,
Tidak bisa dipungkiri, ini memang menjadi lagu kesukaanku. Mungkin sejak
kejadian itu. Tidak, mungkin sejak sebelum itu. Atau, entahlah. Aku hanya bisa
tersenyum menanggapi pikiranku sendiri. Sepertinya aku mendengar sebuah suara
atau teriakan disela-sela alunan lagu, tapi tidak jelas. Mungkin hanya
perasaanku saja. Atau mungkin hanya Agni yang tertusuk duri.
Wekasan mung welingku
Aku titip kembang mawar biru
Openana, minangka tandha katresnanku
Lagu itu berjudul Mawar Biru. Cocok dengan nama toko ini. Mungkin lain
kali akan kuputar sebagai lagu tema untuk toko ini.
Mungkin Agus menganggapku sudah sedikit gila. Karena daritadi yang
kulakukan hanyalah senyum-senyum sendiri tanpa sebab didepan kumpulan bunga.
Paling tidak begitulah kelihatannya. Biarlah.
“Permisi mas, saya mau ambil mawar biru, ada?”
“Maaf mbak,” sebenarnya aku sedikit malas menjelaskannya, karena hari ini
mungkin sudah lebih dari delapan kali aku menjelaskannya. Mungkin lain kali aku
memasang papan penjelasan saja didepan toko. “kalau mawar biru harus dipesan
dulu, paling tidak dua mingg–“ aku tidak bisa lagi melanjutkan kata-kataku
ketika aku menoleh kearah sumber suara tadi.
Seorang wanita berdiri disana, senyum mengembang diwajahnya. Dengan
rambut hitam terurai panjang, anggun dan menawan. Namun satu yang tidak bisa
kulupakan, wajahnya dan senyumnya, meskipun wajahnya dihiasi dengan sebuah
kacamata. Wajah dan senyuman yang sudah beberapa tahun tidak kulihat. Sedikit
berbeda memang, namun aku yakin itu adalah dia.
Prak!
Dunia seakan menjadi hening. Benda apapun itu tadi yang kujatuhkan, aku
tidak peduli lagi. Yang kupedulikan sekarang hanyalah dia. Yang kupedulikan
sekarang hanyalah memeluknya, meluapkan kerinduan yang telah lama kupendam.
Dan, ya. Dia dipelukanku dan dia membalas pelukanku. Jadi tidak mungkin
aku salah orang kan? Kalau aku salah orang, sudah pasti aku akan mendapat
tamparan, kan?
“Maaf bajuku sedikit kotor dan aku jadi mengotori bajumu.” Entah kenapa,
setelah beberapa tahun tidak bertemu, hal bodoh seperti itu yang terucap. Aku
terus merutuki perkataanku. Aku sungguh bodoh.
“Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan. Aku juga minta maaf membuatmu
memecahkan satu pot bunga.”
“Tidak, tidak apa-apa. Jika itu syarat untuk bisa bertemu dan memeluk
dirimu.” Jantungku semakin cepat berdetak, tanda aku sangat merindukannya.
Tanda perasaan ini nyata.
Aku merasakannya dalam pelukanku, sebuah senyuman mengembang diwajahnya.
Jika seperti ini, kata-kata tidak terlalu berguna. Keheningan lebih dari cukup
untuk mengungkapkannya.
“Jadi, apakah ada mawar biru untukku?”
“Tentu.”
***
No comments:
Post a Comment