Wednesday, March 20, 2013

Cerpen : Mawar Biru



Semilir angin menerpa bagaikan bisikan halus nyanyian yng mengalun sendu, menangis seperti hatiku. Terasa berat melangkahkan kakiku, seolah tidak ingin aku meninggalkan tempat ini. Berat memang, namun, semua ini harus kulakukan. Bukan keinginanku begini, namun suatu keharusan. Ya, keharusan.
Kupaksakan kakiku melangkah, melewati jalan setapak berbatu, menembus tebalnya rerumputan yang terhampar luas, bersanding dengan hijaunya sawah yang luas dan pepohonan hutan di lereng pegunungan di ujung horizon. Kuhentikan langkahku sejenak. Kulihat biru langit cerah pagi ini, beberapa burung terbang, bermain, seperti menggodaku untuk ikut mengejar mereka. Tidak. Mungkin lain kali? Aku tersenyum, kusadari pahitnya kenyataan, karena mungkin aku tidak akan kembali lagi, dan mungkin tidak akan ada lain kali.
Kulangkahkan lagi kakiku, menuju ke tempat tujuanku, dimana dia menunggu. Kucengkeram erat benda di tanganku. Semakin dekat, hatiku semakin menjerit. Semakin dekat, hatiku semakin menangis. Tapi apa yang bias kulakukan? Semua ini sudah menjadi suatu keharusan, dan aku tidak bisa menolaknya.
Kulewati hamparan sawah, menuju padang rumput ynag hijau, dimana ada sebuah pohon besar yang tumbuh, sendirian ditengah hijaunya rerumputan. Seperti kata ibuku, pohon itu kesepian. Semakin sedikit anak-anak yang bermain disekitarnya, dibawah nanungan rindang dedaunannya. Termasuk aku, yang akan meninggalkan tempat ini. Akan meninggalkan dia.
Ku lambatkan langkah kakiku. Semakin aku mendekati tujuanku. Sebuah pohon yang mulai kesepian, dimana aku berjanji bertemu dengan dia. Semakin aku mendekati tujuanku, semakin aku melihat sosok orang yang menungguku, bersandar pada batang pohon yang kokoh, menerawang jauh ke angkasa. Dia.
Kuhentikan langkahku, dibawah pohon ini. Bisa kulihat jelas dia, tubuhnya, wajahnya, tatapan matanya yang menawan, semua tentang dia. Aku bisa merasakannya, sebenarnya dia merasakan keberadaanku. Namun entah kenapa dia tetap menatap angkasa. Seakan dia sedang berada di dunia lain. Aku mungkin akan berdoa supaya waktu berhenti sekarang. Namun tidak kali ini. Tidak bisa.
“Emm, aku….”
Aku tergetar, tidak kuasa meneruskan perkataanku. Sejuta perasaan bercampur aduk dalam benakku. Tiba-tiba saja dia memalingkan wajahnya kearahku, menatapku dalam. Aku hanya bisa tertunduk. Aku tidak bisa membalas tatapannya. Aku merasa lemah.
“Aku sudah tahu, apa yang ingin kamu bicarakan.”
“Eh?”
Tatapannya berubah menjadi tatapan hangat seperti biasanya. Senyum mengembang menghiasi wajahnya. Namun aku bisa melihat setitik kesedihan dalam dirinya.
“Kamu harus pergi, kan?”
“Soal itu…”
“Eh? Bukan itu yang mau kamu katakan?” dia menaikkan satu alisnya.
“Tidak, kau benar. Aku ingin membicarakan hal itu.” Aku berjalan mendekatinya. “Tapi aku juga ingin membicarakan hal lain.” Kataku mencari alasan.
“Biar kutebak. Bunga itu?”
“Ah, ya, em…begitulah.”
“Jadi?”
“Aku berangkat sore nanti.”
“Ya, aku sudah tahu itu dari orang tuamu tadi malam.”
Aku hanya bisa diam. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Perasaanku tidak terkontrol lagi. Benar-benar menyayat hati. Mataku mulai terasa panas.
“Hey, kenapa kamu diam saja?”
“Maafkan aku!” aku sudah tidak bisa menahannya lagi “Aku tidak bermaksud untuk pergi! Ini bukan keinginanku! Aku terpaksa! Aku hanya, aku–“
Cup.
Sebuah kecupan mendarat dikeningku. Kudapati aku  telah berada dalam pelukannya. Dalam hangat pelukannya. Tidak ada diantara kami yang berkata-kata. Keheningan ini sudah cukup. Dan kali ini sungguh, aku berdoa supaya Tuhan mau menghentikan waktu sejenak, walaupun itu tidak mungkin. Aku hanya bisa meresapi kehangatan pelukannya, mungkin untuk yang terakhir  kalinya.

***

Hari ini seperti biasa, aku berangkat ke sekolah  menaiki sepedaku, menyusuri jalanan yang membelah hamparan sawah yang menguning, tanda sebentar lagi akan masuk musim panen. Itu sih kata ayahku, hihihi.
Sekolahku lumayan jauh. Sekolahku itu ada di pinggiran kota, sekitar lima kilometer dari desa ini. Aku lebih sering berangkat sendiri. Tapi pulang sekolah, aku selalu pulang bersama teman-temanku.
“Put, Putri!”
“Eh? Bayu? Kok lari-lari? Mana sepedamu?” kuhentikan sepedaku disamping jembatan kecil diatas aliran air yang digunakan untuk pengairan sawah.
“Eh, hahaha. Itu anu, ban sepedaku bocor tadi, kalo nunggu ditambal di bengkelnya om Jono nanti ndak keburu. Aku boleh mbonceng kamu ke sekolah? Boleh ya? Kalo telat bisa-bisa diturunin lagi ke kelas dua sama pak Pram. Hiii-”
Hihihi, ekspresinya lucu.
“Boleh. Tapi kamu yang didepan ya? Masak yang perempuan yang didepan?”
“Sip lah ndoro putri.”
“Pelan-pelan bawa sepedanya ya?”

***

Sore ini sangat cerah. Suara teriakan dan tertawa menghiasi keceriaanku dan teman-temanku –Dinda, Ani, Dewi, Prita dan Tyas–  bermain kejar-kejaran di sekitar pohon kesepian. Kata ibuku, kalau mau bermain, di sekitar sini saja, biar jadi teman pohon ini, yang sudah ada sejak ibuku kecil. Tapi benar juga ya, kasihan pohon ini nanti.
Bruk.
“Huaa~~ capeknya~~” aku menghempaskan tubuhku ke rerumputan yang tebal. Rasanya seperti di tempat tidur.
“Iya nih, ada yang bawa minum ndak?” Dewi ikut-ikutan rebahan disampingku.
“Nih Wi, tadi aku bawa kok. Tapi Cuma dua botol nih. Bagi-bagi ya?” Tyas mengeluarkan dua buah botol berisi air mineral dari tas yang diletakannya di keranjang sepeda miliknya.
“Waahh~~ Tyas baik deh.”
“Eh, Prita, minta dong!”
“Sabar dong Din! Sabar!”
“Putri, mau?” Dewi menyodorkan sebotol air yang telah berkurang isinya.
Aku cuma mengangguk. Kuraih botol itu dan meminum isinya. Kurasakan betapa segar rasanya, menyejukkan, menyenangkan, menena–
“HOOREEE AKU MENANGG!!”
Aku kaget. Hampir saja aku tersedak. Ternyata cuma anak laki-laki yang sedang bermain dir-diran (kelereng).
“Ahh~~ Aku kalah lagi.”Bayu berguling-guling, frustasi karena mengalami kekalahan berturut-turut.
Eh? Aku belum cerita kalau disini juga ada anak laki-laki sedang bermain juga –Bayu, Maman, Anto dan Agus, yang baru saja menang. Kadang mereka main dir-diran, kadang mereka cuma tidur-tiduran dibawah pohon, kadang kita bersepuluh juga bermain layangan. Iya, bersepuluh, termasuk aku.
Aku bersandar ke batang pohon, sambil tersenyum kecil. Bermain dengan mereka sangat menyenangkan, walaupun kadang-kadang ada juga seorang dua orang yang menangis, tapi itu yang mengikat kami semua. Sampai ayah Prita menyebut kami dengan sebutan ‘geng kancil’, walaupun kami belum pernah mencuri mentimun. Hihihi.
Dari kejauhan kulihat om Jono lari tergesa-gesa menuju ke arah kami. Wajahnya memancarkan rasa cemas dan khawatir.
“BAYU!”

***

Siang ini terasa suram. Aku kembali mendatangi rumah Bayu, ditemani ayah ibuku. Aku ingin khawatir dengan keadaannya. Karena tadi pagi dia seperti mainan yang hancur berkeping-keping. Seperti tidak mempunyai semangat maupun jiwa.
Aku terus berusaha menembus kerumunan orang-orang berpakaian hitam yang berkumpul di halaman rumahnya. Aku terus berusaha untuk mencapai rumahnya. Terus berusaha untuk mencari dirinya.
“Semua ini gara-gara kau!”
Suara itu. Ya, suara itu suara Bayu. Aku menuju ke sebuah kamar dimana sumber suara itu berasal.
“Kalau saja kau tidak dilahirkan, Ibu tidak akan pergi! Kalau saja kau tidak dilahirkan, Ibu tidak akan meninggal! Kenapa tidak kau saja yang mati! Kurang ajar!!”
Aku kaget bukan kepalang. Aku melihat Bayu, dengan mata penuh amarah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia melampiaskan amarahnya pada seorang bayi yang tergeletak ditempat tidur, menangis meraung-raung, terbangun dari tidurnya. Aku hanya bisa diam terpaku di ambang pintu dalam keterkejutanku. Sejenak kurasakan ada tangan menyentuh pundakku, dan kemudian kulihat seseorang memasuki kamar ini.
Plak!
“Jaga mulutmu Bayu!”
“Memang itu kenyataannya!”
Plak!
“Kau ini keterlaluan!”
Aku hanya bisa melihat amarah dan kebencian terpancar dari matanya saat dia berlari keluar. Yang ada dalam pikiranku sekarang, aku harus mengejarnya. Tapi bagaimana? Aku sudah kehilangan jejaknya. Tapi aku yakin dia pasti disana.
Kupercepat langkahku, berlari dan terus berlari. Dia disana, aku melihatnya. Dia terdiam membelakangiku.
“Mau apa kau kesini?”
“Bayu, aku tahu apa yang kau rasakan sekarang. Aku juga merasakannya waktu nenekku meninggal.”
“Tidak. Kau tidak tahu apa yang kurasakan.”
Aku tahu dia selalu memendam perasaannya. Selalu bersikap tangguh. Tetap tenang sewaktu marah. Selalu tersenyum saat dia sedih, tapi tidak kali ini. Emosinya terpancar jelas. Kali ini tidak seperti biasanya, aku tidak harus menatap matanya dalam untuk mengetahuinya.
Aku mendekatinya, mendekapnya dari belakang. Terasa kesedihannya masuk ke dalam diriku. Menjalar melewati tanganku. Terus menjalar naik. Membuat mataku panas dan air mataku menggenang.
“Sudahlah, ndak usah pura-pura lagi. Aku tahu kamu sedih. Kamu boleh kok nangis.”
Ndak, aku ndak bakalan  nangis. Itu kerjaannya anak cengeng yang lemah.”
“Tapi kan ndak apa-apa sekali-sekali meluapkan perasaanmu. Kamu boleh kok nangis. Aku ndak akan bilang siapa-siapa kok, janji.”
Kurasakan badannya tergetar. Suara sesenggukan terdengar.
“Ak…aku…aku…”
“Masih ingat kan kata-kata ibumu kemarin?”
Dia tidak menjawab, hanya suara tangisan yang tertahan.
“Ibumu  ingin kamu menjadi angin yang membuat api menjadi besar.  Angin yang menjaga api selalu menyala. Angin yang membawa kehidupan. Bukan menjadi angin yang mematikan api kecil. Karena itu ibumu menamai adikmu dengan nama Agni, kan?”
Dia hanya menangis. Kali ini bukanlah tangisan yang tertahan. Hanya tangisan lepas penyesalan.

***

Bruk!
“Huuwaaa~~”
“Eh? Agni!” kuhentikan langkahku, kuhampiri Agni kecil yang terjatuh. Ada luka yang mengucurkan darah di lututnya. Aku menenangkannya, namun tangisannya tidak berhenti.
“Sudah, sudah. Jangan menangis. Sini kakak gendong.”
“Ayo nanti di rumah lukanya di obati, ya?”
“Makanya besok-besok kalau jalan hati-hati ya?”
“Emm…Iya. Terima kasih ya, kak Bayu memang baik.”
“Iya, iya, ayo Put, nanti keburu sore.”
Aku tersenyum. Kupercepat langkahku menyusul kakak beradik itu. Kadang aku juga menginginkan kakak yang baik dan perhatian. Tapi tidak mungkin ya? Hihihi.

***

Kupejamkan mataku. Merasakan buaian angin sejuk menerpa mukaku. Kudengar nada-nada yang mengalun indah. Alunan yang sangat menenangkan hati.
“Tidak terasa, waktu berlalu sangat cepat.”
Kubuka mataku perlahan. Yang pertama kulihat adalah birunya langit di sela-sela rindang dedaunan yang menari perlahan.
Kulihat dia disampingku. Sebuah gitar dalam dekapannya. Jari-jari tangannya menari diatas dawai, menghasilkan nada yang terdengar mengalun merdu.
Kurasakan gerakan di pangkuanku. Seorang malaikat kecil yang tertidur lelap di pangkuanku. Kuletakkan tanganku diatas kepalanya, kuelus lembut penuh kasih sayang.
“Tidak terasa, kita akan beranjak dewasa.” Dia menerawang jauh. Jari-jarinya terus menari seperti tidak mengenal lelah.
“Iya, kukira baru kemarin aku mengajari adikmu ini berjalan.”
Dia menghentikan permainan gitarnya, menatapku dengan pandangan aneh.
“Eh? Kenapa?”
“Kau seperti ibu-ibu.” Dia menjawab dengan santainya, meneruskan petikan-petikan gitarnya.
Pak!
Sebuah jitakan sukses mendarat di kepalanya. Sumbernya? Tentu saja tanganku.
“Kamu ini kenapa? Aku kan cuma bercanda.”
“Eh?”
“Tenang, kamu tambah cantik kok.”
“Eh…..?” Mukaku terasa panas. Entah kenapa.
“Semakin sepi. Teman-teman satu per satu pergi meninggalkan tempat ini.”
Aku tidak menjawab. Memang, Dinda, Prita dan Dewi pindah ke ibukota bersama keluarga mereka. Tyas dan Ani bersekolah ditempat kakek-nenek mereka, walaupun tiap libur semester mereka pulang kesini karena orang tua mereka tetap tinggal disini. Begitupun teman-teman Bayu, mereka ikut orang tua mereka pindah ke kota besar.
“Apa kamu juga akan meninggalkan tempat ini?”
“Entahlah. Tapi sebisa mungkin aku ingin disini, di tempat ini. Bersamamu.”

***

Aku tersadar dari lamunanku. Aku masih disini, dibawah pohon yang sama, masih dipelukannya. Aku sedang tidak ingin mengingat ingatan-ingatan itu, tentang semuanya. Aku hanya ingin meresapi momen ini lebih lama lagi.
“Putri?”
“Hmm…? Lima menit lagi.”
“Eh?”
“Iya, emm…maaf.” Aku melepaskan pelukannya. “Aku hanya ingin bersamamu lebih lama. Tapi sepertinya tidak mungkin”
“Iya, sudahlah. Kau juga harus mengejar waktu kan? Lalu apa yang ingin kamu bicarakan tadi?”
“Emm…mawar itu, aku menitipkannya padamu. Aku ingin kau merawatnya– ”
“Kamu ingin aku merawatnya?”
“–ya, jika kau menyayangiku.” Entah apa yang membuatku berkata begitu. Aku tidak tahu. Aku hanya menatapnya dalam-dalam, membakar ingatan tentang dirinya didalam memoriku.
Dia tersenyum, senyum yang tidak ingin aku lupakan.
“Tentu, aku akan merawatnya hingga tumbuh besar. Aku akan menjaganya hingga kamu kembali.”
Cup.
Dia mencium keningku untuk kedua kalinya. Itu membuatku lebih tenang, namun juga membuatku sedih.
“Aku pergi.”
“Aku menyayangimu. Berhati-hatilah disana. Aku akan merindukanmu.”
Aku hanya mengangguk. Aku mulai melangkah. Menjauh dan semakin menjauh. Aku sudah tidak bisa lagi membendungnya. Uraian air mata dan isak tangis menemani langkahku.

***

Pagi ini seperti pagi yang lain. Aku menyusuri jalan desa ini. Ku tuntun sepedaku, sambil menghirup aroma pagi. Menuju ke tempatku mengais rejeki.
Kuhentikan langkahku didepan papan berita di depan kantor kelurahan. Ini sudah menjadi kebiasaanku, membaca berita sebelum aku berangkat. Memang hanya sebuah papan yang ditempel potongan-potongan surat kabar, namun aku rasa ini sangat membantu. Mengingat hanya beberapa orang yang memiliki televisi di daerah ini, mayoritas hanya memiliki radio. Aku merasa berita itu penting, karena menambah wawasan kita, iya kan?
Aku melihat-lihat. Ada yang menarik perhatianku. Berita tentang penyerangan menara kembar di Amerika oleh teroris menggunakan pesawat komersial. Kupikir akan ada perang dunia ketiga sebentar lagi, karena makin banyak serangan-serangan teroris. Seperti waktu krisis moneter beberapa tahun lalu, kukira akan terjadi perang sipil di Indonesia.
Ku kayuh sepedaku kali ini. Memburu waktu. Bukankah burung yang bangun paling pagi akan mendapat cacing paling banyak? Meskipun tidak semua burung mencari cacing sih. Tapi entahlah?
Desa ini telah berkembang. Apalagi setelah peristiwa krisis moneter kota sebelah sedang mengalami pembangunan dan perluasan daerah secara besar-besaran, hingga merambah ke desa-desa sebelahnya, termasuk desa ini. Setidaknya daerah ini menjadi lebih maju, dan mengalami perbaikan disana-sini, termasuk pada bidang pendidikan, dimana sekolah-sekolah direnovasi. Termasuk sekolahku dulu. Bahkan kota itu sudah memiliki satu universitas swasta dan satu sekolah tinggi.
Aku sendiri sekarang berkuliah disitu. Aku masuk di jurusan pertanian sebagai angkatan perdana. Ya, aku menjadi mahasiswa angkatan satu, karena jurusan pertanian baru dibuka satu tahun lalu, sejak dua tahun universitas itu berdiri. Universitas itu tidak besar memang, tapi kurasa cukup bagi orang-orang yang ingin terus mencari ilmu. Yang terpenting adalah kualitas mahasiswa dan pendidikannya, bukan besar-kecilnya suatu universitas kan?
Disinilah aku mengais rejeki, sebuah toko bunga milik ayahku yang dulu bernama Kembang Rejeki. Iya, dulu, karena sejak kematian ayahku tiga tahun lalu, tempat ini aku ganti dengan nama Mawar Biru, seperti apa yang dia tinggalkan untukku. Dan tempat ini berkembang pesat, sangat berbeda dari yang dulu. Tempat ini sudah menjadi sebuah toko yang cukup besar, bukan lagi sebuah kios kecil seperti dulu.
Aku sendiri memiliki tiga orang karyawan yang sangat kupercayai dan sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri, karena memang, mereka adalah tetangga-tetanggaku di desa, dan salah satunya adalah Agus, temanku dulu si jawara main kelereng. Dia sebenarnya sempat bersekolah di kota sejak dia SMP hingga lulus menjadi sarjana pertanian, tapi dia kembali lagi ke desa bersama kakek-neneknya, ingin ikut serta membangun daerah, katanya.
Yah, meskipun ini hanyalah sebuah toko bunga, toko tanaman tepatnya, karena disini tidak hanya menjual tanaman bunga, namun juga tanaman hias dan tanaman besar seperti pohon beringin, dalam bentuk benih maupun tanaman muda, namun cukup untuk membiayai kuliahku, sekolah adikku yang sudah masuk SMP, dan menggaji karyawanku dengan pantas, serta memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Bahkan aku masih dapat menabung dalam jumlah yang lumayan dan kadang memberi bonus kepada karyawanku. Mungkin karena hanya ini satu-satunya toko yang menjual tanaman dan bunga di kota ini. Bahkan pemda kota mempercayaiku sebagai partner untuk menyediakan pohon-pohon dan tanaman untuk taman kota dan penghias jalan untuk proyek pembangunan kota. Yah itulah rejeki, akan datang jika diusahakan dan dicari.
“Selamat pagi pak Bos!”
“Eh, kamu Gus. Kan sudah kubilang jangan panggil bos-bos segala, kita ini kan teman.”
“Eits, kalo diluar boleh temen, tapi kalo di lingkungan kerja harus gitu, itu yang orang kota sebut profesionalisme bro.”
“Iya deh iya. Logatmu itu belum hilang juga ya?”
“Ya gini deh, kelamaan gaul sama cewek-cewek kota yang geulis pisan.”
Kita tertawa bersama. Ya beginilah Agus. Sejak kecil belum berubah sifat humorisnya. Dialah yang menjadi malaikat penyelamatku sewaktu aku kewalahan antara kegiatan kuliah dan mengurus toko. Sekarang dia yang menggantikanku kalau aku sedang sibuk kuliah. Karena memang dia memiliki pengetahuan yang luas tentang tanaman. Bahkan dia menggunakan koneksinya untuk memasukkan tanaman-tanaman baru kedalam list toko ini. Bahkan rencanaku untuk membuka toko kerajinan khas daerah ini pun menawarkan akan melebarkan ke luar negeri sebagai barang ekspor, padahal itu baru rencana. Aku salut dengan keberanian dan kreatifitasnya.
“Nggak ngampus Bos Bayu?”
“Belum. Nanti jam sepuluh baru ada kelas. Masih tiga setengah jam lagi. Ngomong-ngomong mana Eko sama Joko?”
“Tadi sih waktu disamperin lagi ngasih makan sapi sama kambing. Ntar kalo udah kelar langsung kesini katanya.”
“Oh, okelah.” Memang ini belum jam tujuh, waktu yang kusepakati bersama karyawan-karyawanku sebagai jam buka, karena mereka harus mengurus hewan peliharaan mereka. Walaupun sering aku membuka toko lebih pagi dari itu. Ingat kan? Burung yang bangun lebih pagi–
“Eh ada yang dateng tuh, samperin gih, aku siap-siap dulu.”
“Iya iya.” Kulihat ada seorang pria usia tiga puluh tahunan turun dari motornya dan melangkah masuk ke dalam toko. Dia langsung menghampiriku. “Ada yang bisa saya bantu pak?”
“Gini mas, istri saya kepengin punya mawar biru, ada mas?”
“Kalau mawar biru harus dipesan dulu pak, paling tidak dua minggu sampai satu bulan pak. Karena belum ada mawar biru yang asli dari persilangan, mawar biru yang beredar baru mawar putih yang direkayasa menggunakan injeksi warna. Harga satu tanamannya juga lebih mahal dari mawar biasa pak, dan kalau mau pesan setidaknya ada uang muka lima puluh persen.”
“Oh begitu. Boleh deh, ndak apa-apa. Demi istri tercinta. Hahaha.”
“Hahaha, iya pak. Boleh saya tahu nama, alamat dan nomor telepon bapak kalau ada?”
Orang itu pergi setelah memberiku uang muka dan kucatat identitasnya. Benar kan? Semakin kau berusaha, semakin rejeki menghampirimu.

***

Siang ini aku kembali ke toko setelah pulang kuliah. Memang jarak toko dengan kampus tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar dua kilometer. Kurebahkan tubuhku di atas sofa ruang istirahat tokoku. Lagu keroncong mengalun dari radio di ujung ruangan yang dinyalakan Joko. Kadang aku ikut mendendangkan lagu-lagu yang diputar. Mataku tidak lepas dari sebuah tanaman bunga yang kutaruh dalam pot disamping radio. Tanaman bunga yang sama seperti yang ada di dalam kamarku. Sebuah tanaman bunga yang spesial. Yang mengingatkanku selalu dengan dia. Mawar Biru.
Gubrak!
Aku mendapat serangan. Telak mengenaiku. Pelakunya tidak lain adalah–
“Siang kakakku sayang~.”
–malaikat kecilku yang sudah beranjak remaja, menyerangku dengan pelukan tiba-tiba.
“Eh, Agni, sakit tahu? Bikin kaget.”
“Iya deh maaf.”
“Eh neng Agni udah pulang sekolah nih neng?”
“He’eh nih mas Agus. Oh iya kak, ini tadi Agni beli nasi bungkus lima porsi, ayo pada makan dulu.” Agni meletakkan tas plastik berisi lima nasi bungkus dan lima bungkus es teh.
“Wah pas banget, belom makan siang nih. Rejeki, rejeki.” Agus langsung menyambar sebungkus nasi.
“Mas Agus, Mas Joko sama Mas Eko dipanggil dong! Jangan makan kalau belum cuci tangan ya! Jorok!”
Aku mengambil sebungkus nasi. Yah, beginilah seorang Agni, sudah berubah menjadi gadis remaja yang cantik. Dia selalu kesini dan membantu kami sepulang sekolah. Dan sering juga dia membawa makanan. Agni sangat perhatian kepada orang-orang disini, apalagi terhadapku, perhatian yang terlalu berlebihan. Kalau kata Agus, agni itu terkena Brother-Sister Complex. Entah apa maksudnya, aku sendiri kurang paham dengan psikologi.

***

Hari ini seperti biasa aku membantu kakakku di toko. Setidaknya aku memiliki teman mengobrol, daripada harus dirumah sendiri. Lagipula aku suka bunga, terutama bunga mawar. Tapi aku kadang kurang mengerti. Kalau aku sedang beres-beres dan memindahkan bunga “itu”, baik dirumah ataupun ditoko, kakakku selalu berubah panik setengah mati. Mungkin bunga itu mempunyai arti spesial? Entahlah, tapi yang jelas, kakakku dalam kondisi panik sangat menyenangkan untuk ditonton, hehehe.
Aku selalu mengikat rambutku ketika aku bekerja, supaya tidak menggangguku bekerja. Waktu itu aku ingin memotong pendek rambutku. Kata kakakku rambut panjang lebih cocok denganku. Lebih feminim dan anggun, daripada rambut pendek berkesan tom…tomkrus? Tomsancong? Tomboy? Tomat? Tom…apalah itu istilahnya jika seorang wanita tetapi berkesan seperti laki-laki. Sejujurnya aku juga lebih suka rambut panjang.
Kali ini aku dan mas Eko menata bunga-bunga dan merawat pohon-pohon bonsai yang ditata didepan toko. Pohon bonsai ini seperti pohon beringin tapi ukurannya sangat kecil, lucu menggemaskan. Tapi kata kakakku pohon-pohon bonsai harganya mahal. Hmm…kok bisa ya? Mungkin karena susah merawatnya? Entahlah, dunia ini semakin aneh. Banyak barang-barang berukuran kecil tetapi harganya melebihi barang-barang yang berukuran lebih besar.
Kulihat mas Joko sedang sibuk melayani sepasang pembeli yang tampak sangat tertarik dengan tanaman yang kalau aku tidak salah namanya ekorbia atau ekorkucing atau ekor apalah aku lupa namanya. Kakakku sedang serius menyusun dan membenahi bunga-bunga dan benda-benda kiriman yang baru tiba. Sedangkan mas Agus bekerja didepan benda yang bernama komputer. Katanya sih komputer itu sama saja seperti mesin ketik digabungkan dengan televisi. Masuk akal sih, karena komputer punya layar seperti televisi dan punya tempat untuk menekan huruf-huruf seperti di mesin ketik. Tapi tetap saja aku belum paham dengan benda itu.
“Dek Agni, tolong ambilkan gunting yang kecil yang itu.”
“Yang ini mas?” Aku memberikan benda yang dimaksud mas Eko.
Mas Eko kembali memotong daun-daun yang rusak. Aku hanya menonton, karena aku masih belum terlalu mahir merawat bonsai. Sangat rumit karena semuanya serba kecil. Entah bagaimana caranya membuat pohon kecil begitu.
Aku melihat seorang wanita muda berjalan menuju ke toko. Wanita itu sangat cantik, rambutnya yang panjang tergerai menari-nari ditiup angin, kacamata yang dipakai menambah kesan anggun dan dewasa, menghiasi wajahnya yang cantik natural. Dipadu dengan pakaian bermotif batik yang dikenakannya sangat menawan, berbeda dengan baju-baju batik yang biasa dikenakan ibu-ibu yang kulihat saat menghadiri acara kondangan bersama kakakku, ini lebih terkesan simpel dan modern, modis istilahnya kalau aku tidak salah. Secara keseluruhan, dia bagaikan bidadari yang turun dari langit, sangat anggun dan cantik, yang menjadi dasar keyakinanku bahwa dia bukan orang dari kota ini, mungkin dia hanya sedang berkunjung ke kota ini atau mungkin penduduk baru dikota ini. Tapi jujur, aku sedikit iri dengan dirinya, namun hanya sedikit saja. Sedikiitt saja, boleh kan?
Dia berhenti sejenak didepan toko, mengamati papan nama yang terdapat di depan pintu masuk. Entah apa yang menarik perhatiannya dari papan nama itu. Dia seperti sedang mencerna sesuatu. Bukannya aku berpikiran negatif, aku hanya berpikiran terbuka terhadap segala kemungkinan. Itu tidak buruk, kan?
Tapi tunggu! Kupandangi wajahnya lekat-lekat, kutelusuri setiap senti wajahnya. Sepertinya dia tidak memperhatikanku. Wajahnya, sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi tepatnya kapan dan dimana aku lupa. Sungguh, aku kadang tidak mengerti cara kerja otakku, kadang susah bekerja saat aku sangat membutuhkannya.
Pak!
Aku memukul keningku dengan tangan kiriku. Mencoba untuk mengingat lebih keras, untuk menggali ingatanku lebih dalam, untuk mencari inform–
“AH!”

***

Memiliki adik seperti Agni sungguh sangat menyenangkan. Sifatnya sangat mirip dengan ibu, walaupun aku yakin, Agni tidak akan pernah ingat ibunya karena memang hanya sebuah pelukan yang mengawali dan mengakhirinya. Aku tidak memungkiri, dulu aku sempat murka saat pertama kali aku melihatnya, karena dialah yang juga menjadi akhir dari perjalanan ibuku. Tapi aku sangat menyesal telah melakukan itu.
Tumetesing waspaku
Ora tega rasaning atiku
Sebuah lagu mengalun lirih dari radio. Aku hanya tertawa dalam hati. Aku tahu benar lagu ini.
Tansah katon esemmu
Ngawe-awe rasaning atiku
Bagaimana tidak? Kehidupanku bagaikan berputar dalam satu hal itu. Aku memberi isyarat kepada Agus yang paling dekat dengan radio itu untuk memperkeras suaranya sedikit. Agus mengerti, dan alunan lagu itu sedikit demi sedikit menjadi lebih jelas.
Ora nyana ora ngira, yen ngene dadine
Aku kudu melu,
Tidak bisa dipungkiri, ini memang menjadi lagu kesukaanku. Mungkin sejak kejadian itu. Tidak, mungkin sejak sebelum itu. Atau, entahlah. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi pikiranku sendiri. Sepertinya aku mendengar sebuah suara atau teriakan disela-sela alunan lagu, tapi tidak jelas. Mungkin hanya perasaanku saja. Atau mungkin hanya Agni yang tertusuk duri.
Wekasan mung welingku
Aku titip kembang mawar biru
Openana, minangka tandha katresnanku
Lagu itu berjudul Mawar Biru. Cocok dengan nama toko ini. Mungkin lain kali akan kuputar sebagai lagu tema untuk toko ini.
Mungkin Agus menganggapku sudah sedikit gila. Karena daritadi yang kulakukan hanyalah senyum-senyum sendiri tanpa sebab didepan kumpulan bunga. Paling tidak begitulah kelihatannya. Biarlah.
“Permisi mas, saya mau ambil mawar biru, ada?”
“Maaf mbak,” sebenarnya aku sedikit malas menjelaskannya, karena hari ini mungkin sudah lebih dari delapan kali aku menjelaskannya. Mungkin lain kali aku memasang papan penjelasan saja didepan toko. “kalau mawar biru harus dipesan dulu, paling tidak dua mingg–“ aku tidak bisa lagi melanjutkan kata-kataku ketika aku menoleh kearah sumber suara tadi.
Seorang wanita berdiri disana, senyum mengembang diwajahnya. Dengan rambut hitam terurai panjang, anggun dan menawan. Namun satu yang tidak bisa kulupakan, wajahnya dan senyumnya, meskipun wajahnya dihiasi dengan sebuah kacamata. Wajah dan senyuman yang sudah beberapa tahun tidak kulihat. Sedikit berbeda memang, namun aku yakin itu adalah dia.
Prak!
Dunia seakan menjadi hening. Benda apapun itu tadi yang kujatuhkan, aku tidak peduli lagi. Yang kupedulikan sekarang hanyalah dia. Yang kupedulikan sekarang hanyalah memeluknya, meluapkan kerinduan yang telah lama kupendam.
Dan, ya. Dia dipelukanku dan dia membalas pelukanku. Jadi tidak mungkin aku salah orang kan? Kalau aku salah orang, sudah pasti aku akan mendapat tamparan, kan?
“Maaf bajuku sedikit kotor dan aku jadi mengotori bajumu.” Entah kenapa, setelah beberapa tahun tidak bertemu, hal bodoh seperti itu yang terucap. Aku terus merutuki perkataanku. Aku sungguh bodoh.
“Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan. Aku juga minta maaf membuatmu memecahkan satu pot bunga.”
“Tidak, tidak apa-apa. Jika itu syarat untuk bisa bertemu dan memeluk dirimu.” Jantungku semakin cepat berdetak, tanda aku sangat merindukannya. Tanda perasaan ini nyata.
Aku merasakannya dalam pelukanku, sebuah senyuman mengembang diwajahnya. Jika seperti ini, kata-kata tidak terlalu berguna. Keheningan lebih dari cukup untuk mengungkapkannya.
“Jadi, apakah ada mawar biru untukku?”
“Tentu.”

***

No comments:

Post a Comment